Halloween Festival
(revoltase) -
Spanduk bertuliskan “Happy Halloween” yang berisi
ajakan untuk merayakan hari Halloween terpasang di
sejumlah sudut kota di Jakarta. Perayaan Halloween
ternyata sudah menjadi bagian dari budaya kota
metropolitan. Orang-orang Eropa, Amerika dan beberapa
negara di dunia merayakan Halloween setiap tanggal 31 Oktober.
Di dunia Barat, hari itu yang diyakini sebagai
“kemenangan atas hantu”, sangat ditunggu-tunggu.
Orang awam lazim menyebutnya sebagai hari perayaan
bangkit dan berkumpulnya hantu-hantu atau “pesta
hantu”. Bahkan di Irlandia, hari Halloween telah
menjadi hari libur nasional dan dirayakan secara
besar-besaran.
Ciri khusus dari perayaan Halloween
adalah atribut yang dipakai tampak sangat kental dengan
personifikasi simbol setan. Kostum serba hitam (gelap),
topeng-topeng menyeramkan dari berbagai jenis hantu,
lentera dalam labu kuning dan benda-benda berkarakter dan
bertipikal khas dengan dunia setan. Tempat-tempat hiburan
yang jadi ajang pesta Halloween disulap menjadi tempat angker.
Suasana tersebut akan semakin menyeramkan lagi dengan mengalunnya
suara berbagai macam hantu dari musik yang diputar.
Sebuah Ritual Khusus
Kata “Halloween” berasal dari kata All Hallows Eve yang mengandung arti malam mensucikan. Malam sebelum tanggal 31 Oktober dikenal sebagai All Hallow’s Evening, malamnya semua orang suci (belakangan orang mengenal dengan sebutan Halloween). Malam itu adalah malam sebelum hari semua orang suci –suatu perayaan sebagai peringatan kepada orang-orang suci yang mati sebagai martir. Satu hari sesudahnya, yakni tanggal 1 November ditetapkan sebagai hari semua orang suci (All Saints Day) oleh Paus Grigorius pada tahun 835 M, dan tanggal 2 November menjadi hari arwah-arwah orang mati. Pada hari itu, di antara mereka juga masih ada yang pergi ke makam atau berdoa.
Kata “Halloween” berasal dari kata All Hallows Eve yang mengandung arti malam mensucikan. Malam sebelum tanggal 31 Oktober dikenal sebagai All Hallow’s Evening, malamnya semua orang suci (belakangan orang mengenal dengan sebutan Halloween). Malam itu adalah malam sebelum hari semua orang suci –suatu perayaan sebagai peringatan kepada orang-orang suci yang mati sebagai martir. Satu hari sesudahnya, yakni tanggal 1 November ditetapkan sebagai hari semua orang suci (All Saints Day) oleh Paus Grigorius pada tahun 835 M, dan tanggal 2 November menjadi hari arwah-arwah orang mati. Pada hari itu, di antara mereka juga masih ada yang pergi ke makam atau berdoa.
Banyak kisah yang menceritakan tentang sejarah
munculnya perayaan Halloween. Di dalam sejarah gereja
bangsa Druid, Halloween diposisikan sebagai perayaan
istimewa bagi nenek moyang mereka yang tergolong sebagai
pendeta dari sekte keagamaan Celtic (dari kata celts) di
Irlandia. Kaum Celts merupakan kelompok bangsa Arya yang pertama
kali datang dari daratan Asia untuk menetap di Eropa. Faktanya
sangat jelas bahwa terdapat kesamaan di antara Druidisme
dan agama lain di India. Sekte keagamaan Celtic yang
dipimpin Druids (kaum Piet) mempercayai keyakinan terhadap
bermacam-macam dewa alam, upacara serta praktik-praktiknya.
Mereka menyembah dewa matahari khususnya pada tangal
1 Mei, disebut dengan Baltone (nyala api). Penyembahan juga
dilakukan pada Dewa Maut atau Dewa Kematian pada tanggal
31 Oktober, disebut dengan Samhain. Baltone dilaksanakan
pada festival musim panas, sedangkan Samhain dilaksanakan
pada festival musim dingin. Kedua festival tersebut
menggunakan manusia sebagai korbannya.
Kaum Celts dan bangsa Druid memulai tahun baru
tanggal 1 November. Tanggal 31 Oktober malam sebelum tahun
baru, diyakini Dewa Kematian berkumpul bersama arwah-arwah
jahat yang telah dikutuk untuk merasuki tubuh binatang.
Sedangkan arwah yang baik mengalami reinkarnasi sebagai
manusia. Oleh karena itulah tanggal 1 November sering
disebut sebagai hari arwah orang mati.
Bangsa Celtic mempercayai bahwa pada tanggal 31
Oktober malam, roh jahat, tukang sihir, roh pengacau
(gobins), peri, dan makhluk-makhluk halus berkeliaran.
Roh-roh orang yang telah meninggal bergentayangan untuk
memasuki dan merasuk ke dalam tubuh manusia yang masih hidup.
Tentu saja manusia tidak mau dirasuki oleh roh-roh gentayangan
tersebut. Oleh karena itu ketika malam menjelang tanggal 31
Oktober, para penduduk desa mematikan api yang menyala
dalam rumah sehingga tubuh mereka menjadi dingin dan roh
tidak mau memasukinya.
Agar roh semakin menjauh, mereka lalu memakai pakaian
yang menakutkan dan berkeliling desa dengan membunyikan
suara-suara yang berisik untuk menakut-nakuti roh
gentayangan. Lantas apa yang terjadi dengan mereka yang
terasuki oleh roh gentayangan? Menurut kisahnya bangsa
Celtic akan membakar mereka yang kerasukan sebagai
pelajaran bagi roh-roh lainnya agar tidak berani lagi merasuk ke tubuh
manusia.
Pergeseran Nilai
Apa yang terlihat merupakan kegiatan ritual yang dilakukan oleh orang-orang Druid di Amerika Utara dan Eropa. Tak dapat dipungkiri bahwa pada setiap perayaan Halloween yang diadakan, khususnya di dunia Barat telah melenceng dari tujuan yang sebenarnya. Kesakralan yang seharusnya tampak pada sebuah prosesi ritual religi atau kepercayaan telah berubah menjadi kegiatan hiburan semata yang tak bermakna. Bahkan konon telah bergeser menjadi suatu ritual sekte yang berfokus pada sekitar darah, pesta seks, kematian, kengerian dan ilmu hitam. Apalagi prosesi ritual didukung dengan atribut yang mencerminkan kengerian, keangkeran dunia kegelapan setan yang menggambarkan karakter kejahatan dan keburukan. Mereka beranggapan dengan kamuflase kostum dan topeng akan dapat menyembunyikan dan menghindari agar tidak dikenali oleh roh-roh jahat.
Apa yang terlihat merupakan kegiatan ritual yang dilakukan oleh orang-orang Druid di Amerika Utara dan Eropa. Tak dapat dipungkiri bahwa pada setiap perayaan Halloween yang diadakan, khususnya di dunia Barat telah melenceng dari tujuan yang sebenarnya. Kesakralan yang seharusnya tampak pada sebuah prosesi ritual religi atau kepercayaan telah berubah menjadi kegiatan hiburan semata yang tak bermakna. Bahkan konon telah bergeser menjadi suatu ritual sekte yang berfokus pada sekitar darah, pesta seks, kematian, kengerian dan ilmu hitam. Apalagi prosesi ritual didukung dengan atribut yang mencerminkan kengerian, keangkeran dunia kegelapan setan yang menggambarkan karakter kejahatan dan keburukan. Mereka beranggapan dengan kamuflase kostum dan topeng akan dapat menyembunyikan dan menghindari agar tidak dikenali oleh roh-roh jahat.
Metode dan cara perayaan yang demikian kemungkinan
dapat merupakan semacam bentuk pemujaan setan atau seperti
shamanisme tradisional dalam mengubah kepribadian pemakai.
Suatu pola animisme. Jelas sekali hal ini mencampakkan
nilai-nilai moral manusia, moral spiritual maupun moral
humanis. Ritual yang menyesatkan menafikan unsur
kemanusiaan karena biasanya diikuti dengan persembahan atau
pengorbanan tertentu dan membangun spiritualitas jalannya sendiri
dengan pola-pola yang tidak benar. Moralitas modern kehilangan
standar mutlak yang berakibat pada kehancuran semua
struktur moral.
Nilai-nilai moral kesucian sebagai simbol kemenangan
atas kejahatan yang dipersonifikasikan dengan simbol setan,
semakin bergeser dan dipahami dengan pola dan cara yang
salah. Sebagian besar atribut Halloween mengingatkan pada
hal-hal yang berbau mistis yang berkaitan erat dengan
masyarakat Druid dalam menyambut tahun baru. Masyarakat
Druid dipengaruhi oleh pemimpin aliran, penyihir dan kepercayaan
yang ada. Bahkan Halloween sering rancu atau sering dikacaukan
dengan ajaran dan hari-hari perayaan umat Kristen.
Melihat fenomena perayaan yang demikian, kiranya
sangat penting untuk menimbang kembali perayaan Halloween. Atau
bila perlu makna ritual perayaan harus diluruskan kembali
sesuai dengan tujuan awalnya yakni peringatan terhadap
orang-orang suci yang mati sebagai martir. Disadari atau
tidak sebenarnya ketika perayaan Halloween diadakan dengan
metode dan cara yang salah mereka terjebak dan masuk dalam
perangkap setan, ke sebuah ritual pemujaan setan. Jika demikian
masih perlukah perayaan ini digelar?
Pendeta Joko Priatno dari Biro Pengkabaran Injil
dan Keesaan Persekutuan Gereja Indonesia (PGI) dengan tegas
menyatakan bahwa dalam agama Kristen tidak pernah mengenal
perayaan Halloween sebagai perayaan umat Kristen.
Sebenarnya perayaan tersebut merupakan adopsi dari
kebudayaan Barat terutama Amerika Serikat yang dikenal
mempunyai penganut agama Kristen yang cukup banyak. Memang pada
realitasnya mayoritas pengikut perayaan Halloween adalah
umat Kristen. Namun perlu diingat banyak orang ‘kafir’ (tak
bertuhan) mengklaim sebagai penganut Kristen. “Salah besar
apabila Halloween dianggap sebagai perayaan Kristen, sebab
dalam ajaran Kristen sangat jelas tidak mempercayai atau
mengimani arwah-arwah orang mati maupun roh-roh. Yang boleh diimani
atau dipercaya hanya satu yakni Allah,” jelasnya.
Bentuk kepercayaan semacam itu berkaitan erat dengan
tradisi masyarakat tradisional yang masih kental dengan
kepercayaan animisme. Boleh dikatakan bahwa kepercayaan dan
tradisi yang berkembang tradisional tersebut teradopsi
dalam sebuah masyarakat modern yang parahnya dimasukkan
dalam bingkai keagamaan yang jelas-jelas punya pandangan
bertentangan. “Dengan menggunakan kostum atau pakaian
menyeramkan, dandanan dibuat semirip mungkin dengan imajinasi setan,
menunjukkan bahwa hal ini bukanlah suatu perayaan suci. Dan
tentunya sebuah perayaan keagamaan berkaitan dengan
kekudusan bukan sesuatu yang menyeramkan,” tegas pendeta
Joko
Comments